NU Online LTN NU Trimurjo
Trending Now:  KH Abbas Layak Menjadi Pahlawan Nasional, Prof. KH Asep S. Chalim: Kami Himpun Para Sarjan...  Gus Dur dengan Misi Njajah Negara Milang Lintangnya  Keunggulan Metodologi Imam Bukhari Dalam Menyaring Hadis Sahih
Opini

Bagaimana Merespon Persepsi Dan Narasi Yang Dibangun Di Media Sosial Tentang NU Hari Ini? Begini Jawaban Ketua LD PBNU

by Admin - 27 September
Bagaimana Merespon Persepsi Dan Narasi Yang Dibangun Di Media Sosial Tentang NU Hari Ini? Begini Jawaban Ketua LD PBNU

Tokoh juga kyai dan sekaligus intlektual yang menjabat sebagai Ketua Lembaga Dakwah PBNU, Dr. KH. Abdullah Syamsul Arifin, M.H.I. atau yang akrab disapa dengan Gus Aab, menjawab tantangan warga NU terhadap isu yang beredar ditengah media sosial hari ini.
 
Ada pertanyaannya yang bagus, kritis, tapi tetap berpatokan pada adab kesantunan dan tata krama. Pertama, ketika kita berbicara sosial media atau media sosial, itu sering ada kata-kata “maha benar netizen dengan segala komentarnya.”
 
Artinya patoan benar salah itu sudah bukan didasarkan kepada objektivitas ilmiah, tetapi kepada persepsi dan narasi yang dibangun oleh orang-orang yang mampu membangun narasi itu.
 
Apalagi memang ada kepentingan-kepentingan orang tertentu dengan memanfaatkan para siber untuk kemudian mempengaruhi opini massa melalui narasi-narasi yang dibangun di media. Saya tidak mau menutupi, karena ini sudah pada persoalan konsumsi publik.
 
Akhir-akhir ini yang menjadi banyak sorotan adalah kasus kuota haji. Sekarang kalau kita mau objektif menilai, ini banyak para ahli hukum, itu sedikit pun tidak ada kaitannya dengan NU. NU tidak punya kewenangan mengatur kuota haji. Tidak ada kapasitas yang diberikan oleh pemerintah untuk NU ikut cawe-cawe mengatur kuota haji.
 
Yang kemudian disorot itu, karena ada kemungkinan menyeret beberapa oknum yang itu kebetulan menjadi fungsionaris di NU, bukan NU secara kelembagaan, kalau kita mau jujur. Dan itu tidak ada kaitannya dengan NU. Kalau ada oknum A terseret, bukan karena posisinya di NU, karena posisinya di pernah menjabat di Kemenag.
 
Karena Kemenag yang punya kewenangan itu. Kalau dia bukan orang Kemenag, tidak mungkin ikut-ikut mengatur itu. Berarti bukan karena posisinya di NU. Saya yang ada di NU, para kiai di samping saya yang ada di NU, yang tidak ada hubungannya dengan mengatur kuota haji.
 
Itu kan narasi yang dibangun. Siapa yang membangun narasi? “Orang yang punya kepentingan” dalam tanda petik, kepentingan yang tidak selamanya baik terhadap Nahdlatul Ulama. Sehingga membangun narasi itu.
 
Kalau sekarang kita mau jujur, dari sekian penelitian, walaupun kemudian sudah ada tiga orang yang dicekal, walaupun sampai hari ini belum ditetapkan siapa tersangkanya. Ngulur-ngulur untuk tidak menetapkan tersangka, itu juga ada framing yang diinginkan. Walaupun kemudian kemarin orang yang sama, yang awalnya mau mengaitkan dengan NU, sudah berubah. Maaf bukan NU-nya, tapi orangnya. Itu sudah dijelaskan. Tapi kadang-kadang yang kadung tersebar statement yang pertama. Yang kedua tindasanya sudah kalah. Ya memang itu permainan media begitu. Pada akhirnya minta maafkan. Tapi klarifikasinya lebih sedikit.
 
Sama dengan ramainya kasus soundhoreg kemarin. Ketika ada yang menolak fatwa MUI, dia klarifikasi bahwa yang dimaksud tidak begitu. Cuma nolaknya sudah tersebar. Klarifikasinya tidak didengar orang. Seperti itu problemnya. Itu problem media.
 
Mohon izin, kalau mau dikaitkan, siapa yang sudah mengembalikan uang? Itu ada dua orang. Ketika diperiksa di tempat Gus Yakut, terserah nanti satu hukumnya seperti apa, kita tidak mau ikut-ikut. Karena dia juga bukan pejabat di NU. Hanya dikaitkan karena dia adiknya ketua umum. Tidak ada hubungannya. Tidak ada hubungannya.
 
Mohon maaf, kalau nanti ada saudaranya pejabat punya masalah, apakah saudaranya ikut? Ya tidak. Masing-masing bertanggung jawab dengan perbuatannya sendiri-sendiri. Yang sudah jelas-jelas, saya tidak apa-apaini ngomong di depan media. Yang sudah jelas-jelas ketahuan itu siapa yang mengembalikan uang? Satu, Khalid Basalamah. Itu siapa yang mengembalikan uang? Satu, konfirmasi lama. Yang dijadikan beran bukti tergantung modusnya apa dan bagaimana.
 
Yang kedua, Hilman Latif. Hilman Latif itu siapa? Mohon maaf, mohon izin. Pak Hilman Latif itu adalah bendahara umum pengurus pusat Muhammadiyah. Tapi kenapa? Media yang bermain begitu. Tidak semua orang sadar. Sampai sekarang belum ditetapkan, walaupun ada nama Isfa Abidal Aziz, salah satu ketua juga sudah dicekal. Tapi belum mengembalikan uang, belum apa. Karena ketika bicara korupsi, orang memikirkan apa? Seakan-akan ada uang negara yang diambil. Padahal konstruksi dalam bidang ini nggak ada begitu.
 
Ada kuota yang ditambahkan. Yang kuota itu seharusnya berdasarkan undang-undang itu adalah 80% untuk haji reguler, 20% untuk haji khusus. Dari 20 ribu itu dibagi menjadi dua. Itu kuotanya. Ternyata dibagi 10 ribu-10 ribu. Apakah kemudian ada uang negara? Nggak ada. Ketika mereka dapat juga nggak ada masuk ke negara. Tetapi dari kuota ini berpotensi untuk dijual belikan. Itu berpotensi. Kalau untuk dapat uang bisa, tapi nggak ada kerugian negara. Yang ada apa? Ya jama haji reguler menunggunya tidak lebih cepat. Bukan lebih lama orang itu, bukan kuota asal. Kuota tambahan. Hanya tidak bisa lebih cepat. Di situ ketidakadilannya. Tapi nggak ada uang yang diambil di situ. Kalau ada, ya uang yang dihimpun dari jamaah sebagai konsekuensi itu. Tapi konstruksi hukumnya kan nggak demikian yang dipahami oleh masyarakat.
 
Nah, cuma kita sikapnya gimana? Sekarang bicara sikap. Itu kan kasus. Saya paham kira-kira maksud jenengan ke itu kan yang akhir-akhir ini rame gitu. Nah, sikapnya bagaimana? Hadirat ussek itu sudah pernah pesang gini. Di dalam Mokot di Mokonon Asasi di Jam'iyah Nahdatul Ulama. Ketika beliau mempesankan begini.
 
 
 
Fahallumu kullukum wa mantabi'akum jami'an minal fuqara wal awniya wal du'afa wal akhwiya ila hadihil jam'iyah al-mubarakah al-mawsuma bi jam'iyati Nahdatul Ulama. Fa'innaha jam'iyatu adlin wa aman wa islahin wa ihsan. Fadkhuluha bil mahabbati wal widal wal ulfatu wal itihab wa tisaalin bi arwahin wa ajasad. Fa'innaha hulwun ala afwahil akhiyar wa gussatun ala ulasimil asror.
 
NU ini menarik. NU ini seksi. NU ini baik. Bagi siapa? Ala afwahil akhiyar. Bagi orang yang baik. Bagi orang yang pikirannya baik. Tapi harus siap orang NU.
 
Wa gussatun ala ulasimil asror. NU itu bisa menjadi orang benci. Bisa menjadi orang melihatnya itu neq. Kalau katanya orang Madura itu beliyut., ceremat cerjebin menguap mengungut ah. Itu bahasanya orang jember. Ya, membuat orang mangkel, membuat orang jengkel. Tapi bagi siapa? Ala ulasimil asror. Atas orang-orang yang memang tidak baik. Maka bagaimana? Biarkan saja. Kebenaran akan menemukan jalannya sendiri. Karena tidak mungkin ada kaitannya dengan institusi. Kalau itu dilakukan, dilakukan pribadi. Kenapa dicantolkan? Ada keinginan besar. Nanti itu akan terlihat sendiri.
 
Jadi bagaimana sikap kita di media? Ya, tidak usah pusing-pusing. Kita teriakkan. Siapapun yang salah harus diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tapi kesalahan oknum tidak boleh menyeret institusi. Itu adalah sebuah ketidakadilan.
 
Begitulah jawaban dalam suebuh diskusi yang tersebar di akun tiktok abdullahsyamsularifin oleh Ketua LD PBNU belum lama ini.

Share:
Pembaca 0
Facebook Twitter Email Whatsapp