Trending Now:
KH Abbas Layak Menjadi Pahlawan Nasional, Prof. KH Asep S. Chalim: Kami Himpun Para Sarjan... Gus Dur dengan Misi Njajah Negara Milang Lintangnya Keunggulan Metodologi Imam Bukhari Dalam Menyaring Hadis Sahih
Tokoh juga kyai
dan sekaligus intlektual yang menjabat sebagai Ketua Lembaga Dakwah PBNU, Dr.
KH. Abdullah Syamsul Arifin, M.H.I. atau yang akrab disapa dengan Gus Aab,
menjawab tantangan warga NU terhadap isu yang beredar ditengah media sosial
hari ini. Ada pertanyaannya yang bagus, kritis, tapi tetap
berpatokan pada adab kesantunan dan tata krama. Pertama, ketika kita berbicara
sosial media atau media sosial, itu sering ada kata-kata “maha benar netizen
dengan segala komentarnya.” Artinya patoan benar salah itu sudah bukan didasarkan
kepada objektivitas ilmiah, tetapi kepada persepsi dan narasi yang dibangun
oleh orang-orang yang mampu membangun narasi itu. Apalagi memang ada kepentingan-kepentingan orang tertentu
dengan memanfaatkan para siber untuk kemudian mempengaruhi opini massa melalui
narasi-narasi yang dibangun di media. Saya tidak mau menutupi, karena ini sudah
pada persoalan konsumsi publik. Akhir-akhir ini yang menjadi banyak sorotan adalah kasus
kuota haji. Sekarang kalau kita mau objektif menilai, ini banyak para ahli
hukum, itu sedikit pun tidak ada kaitannya dengan NU. NU tidak punya kewenangan
mengatur kuota haji. Tidak ada kapasitas yang diberikan oleh pemerintah untuk
NU ikut cawe-cawe mengatur kuota haji. Yang kemudian disorot itu, karena ada kemungkinan
menyeret beberapa oknum yang itu kebetulan menjadi fungsionaris di NU, bukan NU
secara kelembagaan, kalau kita mau jujur. Dan itu tidak ada kaitannya dengan
NU. Kalau ada oknum A terseret, bukan karena posisinya di NU, karena posisinya
di pernah menjabat di Kemenag. Karena Kemenag yang punya kewenangan itu. Kalau dia bukan
orang Kemenag, tidak mungkin ikut-ikut mengatur itu. Berarti bukan karena
posisinya di NU. Saya yang ada di NU, para kiai di samping saya yang ada di NU,
yang tidak ada hubungannya dengan mengatur kuota haji. Itu kan narasi yang dibangun. Siapa yang membangun
narasi? “Orang yang punya kepentingan” dalam tanda petik, kepentingan yang
tidak selamanya baik terhadap Nahdlatul Ulama. Sehingga membangun narasi itu. Kalau sekarang kita mau jujur, dari sekian penelitian,
walaupun kemudian sudah ada tiga orang yang dicekal, walaupun sampai hari ini
belum ditetapkan siapa tersangkanya. Ngulur-ngulur untuk tidak
menetapkan tersangka, itu juga ada framing yang diinginkan. Walaupun
kemudian kemarin orang yang sama, yang awalnya mau mengaitkan dengan NU, sudah
berubah. Maaf bukan NU-nya, tapi orangnya. Itu sudah dijelaskan. Tapi
kadang-kadang yang kadung tersebar statement yang pertama. Yang kedua tindasanya
sudah kalah. Ya memang itu permainan media begitu. Pada akhirnya minta maafkan.
Tapi klarifikasinya lebih sedikit. Sama dengan ramainya kasus soundhoreg kemarin. Ketika ada
yang menolak fatwa MUI, dia klarifikasi bahwa yang dimaksud tidak begitu. Cuma
nolaknya sudah tersebar. Klarifikasinya tidak didengar orang. Seperti itu
problemnya. Itu problem media. Mohon izin, kalau mau dikaitkan, siapa yang sudah
mengembalikan uang? Itu ada dua orang. Ketika diperiksa di tempat Gus Yakut,
terserah nanti satu hukumnya seperti apa, kita tidak mau ikut-ikut. Karena dia
juga bukan pejabat di NU. Hanya dikaitkan karena dia adiknya ketua umum. Tidak
ada hubungannya. Tidak ada hubungannya. Mohon maaf, kalau nanti ada saudaranya pejabat punya
masalah, apakah saudaranya ikut? Ya tidak. Masing-masing bertanggung jawab
dengan perbuatannya sendiri-sendiri. Yang sudah jelas-jelas, saya tidak
apa-apaini ngomong di depan media. Yang sudah jelas-jelas ketahuan itu siapa
yang mengembalikan uang? Satu, Khalid Basalamah. Itu siapa yang mengembalikan
uang? Satu, konfirmasi lama. Yang dijadikan beran bukti tergantung modusnya apa
dan bagaimana. Yang kedua, Hilman Latif. Hilman Latif itu siapa? Mohon
maaf, mohon izin. Pak Hilman Latif itu adalah bendahara umum pengurus pusat
Muhammadiyah. Tapi kenapa? Media yang bermain begitu. Tidak semua orang sadar.
Sampai sekarang belum ditetapkan, walaupun ada nama Isfa Abidal Aziz, salah
satu ketua juga sudah dicekal. Tapi belum mengembalikan uang, belum apa. Karena
ketika bicara korupsi, orang memikirkan apa? Seakan-akan ada uang negara yang
diambil. Padahal konstruksi dalam bidang ini nggak ada begitu. Ada kuota yang ditambahkan. Yang kuota itu seharusnya
berdasarkan undang-undang itu adalah 80% untuk haji reguler, 20% untuk haji
khusus. Dari 20 ribu itu dibagi menjadi dua. Itu kuotanya. Ternyata dibagi 10
ribu-10 ribu. Apakah kemudian ada uang negara? Nggak ada. Ketika mereka dapat
juga nggak ada masuk ke negara. Tetapi dari kuota ini berpotensi untuk dijual
belikan. Itu berpotensi. Kalau untuk dapat uang bisa, tapi nggak ada kerugian
negara. Yang ada apa? Ya jama haji reguler menunggunya tidak lebih cepat. Bukan
lebih lama orang itu, bukan kuota asal. Kuota tambahan. Hanya tidak bisa lebih
cepat. Di situ ketidakadilannya. Tapi nggak ada uang yang diambil di situ.
Kalau ada, ya uang yang dihimpun dari jamaah sebagai konsekuensi itu. Tapi
konstruksi hukumnya kan nggak demikian yang dipahami oleh masyarakat. Nah, cuma kita sikapnya gimana? Sekarang bicara sikap.
Itu kan kasus. Saya paham kira-kira maksud jenengan ke itu kan yang akhir-akhir
ini rame gitu. Nah, sikapnya bagaimana? Hadirat ussek itu sudah pernah pesang
gini. Di dalam Mokot di Mokonon Asasi di Jam'iyah Nahdatul Ulama. Ketika beliau
mempesankan begini. Fahallumu kullukum wa mantabi'akum jami'an minal fuqara
wal awniya wal du'afa wal akhwiya ila hadihil jam'iyah al-mubarakah al-mawsuma
bi jam'iyati Nahdatul Ulama. Fa'innaha jam'iyatu adlin wa aman wa islahin wa
ihsan. Fadkhuluha bil mahabbati wal widal wal ulfatu wal itihab wa tisaalin bi
arwahin wa ajasad. Fa'innaha hulwun ala afwahil akhiyar wa gussatun ala
ulasimil asror. NU ini menarik. NU ini seksi. NU ini baik. Bagi siapa? Ala
afwahil akhiyar. Bagi orang yang baik. Bagi orang yang pikirannya baik.
Tapi harus siap orang NU. Wa gussatun ala ulasimil asror. NU itu bisa
menjadi orang benci. Bisa menjadi orang melihatnya itu neq. Kalau
katanya orang Madura itu beliyut., cerematcerjebin
menguap mengungut ah. Itu bahasanya orang jember. Ya, membuat orang mangkel,
membuat orang jengkel. Tapi bagi siapa? Ala ulasimil asror. Atas
orang-orang yang memang tidak baik. Maka bagaimana? Biarkan saja. Kebenaran
akan menemukan jalannya sendiri. Karena tidak mungkin ada kaitannya dengan
institusi. Kalau itu dilakukan, dilakukan pribadi. Kenapa dicantolkan? Ada
keinginan besar. Nanti itu akan terlihat sendiri. Jadi bagaimana sikap kita di media? Ya, tidak usah
pusing-pusing. Kita teriakkan. Siapapun yang salah harus diproses sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Tapi kesalahan oknum tidak boleh menyeret institusi.
Itu adalah sebuah ketidakadilan. Begitulah jawaban dalam suebuh diskusi yang tersebar
di akun tiktok abdullahsyamsularifin
oleh Ketua LD PBNU belum lama ini.