Trending Now:
KH Abbas Layak Menjadi Pahlawan Nasional, Prof. KH Asep S. Chalim: Kami Himpun Para Sarjan... Gus Dur dengan Misi Njajah Negara Milang Lintangnya Keunggulan Metodologi Imam Bukhari Dalam Menyaring Hadis Sahih
Dalam era digital yang ditandai dengan derasnya arus informasi dan mudahnya penyebaran berita, peran jurnalis menjadi semakin penting sekaligus menantang. Namun, di tengah arus globalisasi media yang kerap bias kepentingan dan kehilangan nilai moral, hadir sebuah entitas unik: santri jurnalis. Santri bukan hanya pewaris tradisi keilmuan Islam, tetapi juga penjaga nilai-nilai moral, kejujuran, dan keadilan. Maka, ketika seorang santri menekuni dunia jurnalisme, ia membawa serta idealisme pesantren sebagai cahaya penuntun di tengah gelapnya disinformasi.
Jurnalisme dan Krisis Moralitas Informasi
Jurnalisme pada hakikatnya adalah upaya mencari, mengolah, dan menyebarkan kebenaran kepada publik. Namun, praktiknya seringkali terjebak dalam pusaran kepentingan ekonomi dan politik. Fenomena clickbait, berita bohong (hoaks), dan framing media menjadi bukti bahwa dunia jurnalisme modern mengalami krisis moralitas. Dalam konteks ini, pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis nilai-nilai etik keislaman menawarkan alternatif paradigma baru: jurnalisme yang berasaskan kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab sosial.
Santri Sebagai Subjek Transformasi Sosial
Santri bukan hanya pelajar agama, tetapi agen perubahan yang memiliki tanggung jawab sosial. Sejarah mencatat peran santri dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia melalui pena dan mimbar dakwah. Kiai Haji Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari, hingga Buya Hamka adalah contoh figur ulama sekaligus komunikator publik yang menanamkan nilai keislaman dalam ranah sosial dan politik. Maka, ketika santri menulis berita atau opini, ia sesungguhnya sedang melanjutkan tradisi intelektual ulama terdahulu—menyuarakan kebenaran (amar ma’ruf) dan mencegah kebatilan (nahi munkar) melalui media.
Idealisme Pesantren dalam Jurnalisme
Idealisme pesantren berakar pada nilai-nilai akhlakul karimah: kejujuran (shidq), amanah, adil, dan tanggung jawab. Nilai-nilai ini dapat menjadi fondasi etik jurnalisme Islami. Santri yang menjadi jurnalis tidak sekadar mengejar sensasi atau popularitas, tetapi mencari ridha Allah melalui penyampaian informasi yang benar dan bermanfaat. Dalam perspektif Islam, pena adalah amanah. Rasulullah ﷺ bersabda: “Tinta para ulama lebih mulia daripada darah para syuhada.” (HR. Ibn ‘Asakir).Ungkapan ini menegaskan bahwa aktivitas menulis, termasuk jurnalistik, merupakan bagian dari jihad intelektual.
Dengan demikian, jurnalisme pesantren bukanlah jurnalisme yang kaku dalam dogma, tetapi jurnalisme berkarakter—yang memadukan intelektualitas, spiritualitas, dan moralitas. Di sinilah lahir santri jurnalis, sosok yang tidak hanya kritis terhadap ketimpangan sosial, tetapi juga santun dalam menyuarakan aspirasi.
Jurnalisme Pesantren: Dari Ruang Kiai ke Ruang Publik
Pesantren, yang selama ini dikenal sebagai pusat pendidikan agama, kini mulai membuka diri terhadap dunia media. Banyak pesantren mendirikan media internal seperti buletin, majalah, hingga kanal digital yang dikelola santri. Fenomena ini menunjukkan bahwa pesantren tidak lagi eksklusif, melainkan adaptif terhadap perkembangan zaman. Melalui pelatihan jurnalistik dan literasi media, santri belajar menulis, meneliti, dan menyebarkan berita yang berimbang. Lebih dari sekadar aktivitas teknis, kegiatan ini menjadi bagian dari dakwah bil qalam (dakwah dengan pena). Santri menulis bukan hanya untuk memberitakan, tetapi untuk mencerahkan. Ia tidak hanya menjadi saksi, tetapi juga pembentuk opini publik yang berpijak pada nilai kebenaran.
Penutup
Menjadi santri sekaligus jurnalis berarti menapaki dua jalan mulia: jalan ilmu dan jalan kebenaran. Dalam diri seorang santri jurnalis bertemu dua kekuatan: kedalaman spiritual dan ketajaman intelektual. Di tengah zaman yang penuh dengan badai fitnah dan disinformasi, kehadiran jurnalisme pesantren adalah lentera moral yang menuntun umat menuju kebenaran. “Ikatan antara pena dan pesantren bukan sekadar tulisan, tetapi peradaban.” Maka, seorang santri yang menulis sejatinya sedang menegakkan marwah pesantren: menebar ilmu, menjaga akhlak, dan menyalakan cahaya kebenaran di tengah gelapnya zaman.
Dikutip dari : Choirul Salim, M.H., Dosen UIN Metro Lampung